Monday, October 12, 2009

Suku Baduy Luar

Baduy Luar

Baduy luar merupakan orang-orang yang telah keluar dari adat dan wilayah Baduy Dalam. Ada beberapa hal yang menyebabkan dikeluarkanya warga Baduy Dalam ke Baduy Luar. Pada dasarnya, peraturan yang ada di baduy luar dan baduy dalam itu hampir sama, tetapi baduy luar lebih mengenal teknologi dibanding baduy dalam.

Ciri-ciri khas masyarakat:

  • Mereka telah mengenal teknologi, seperti peralatan elektronik, meskipun penggunaannya tetap merupakan larangan untuk setiap warga Baduy, termasuk warga Baduy Luar.
  • Proses Pembangunan Rumah penduduk Baduy Luar telah menggunakan alat-alat bantu, seperti gergaji, palu, paku, dll, yang sebelumnya dilarang oleh adat Baduy Dalam. (BL)
  • Menggunakan pakaian adat dengan warna hitam atau biru tua (untuk laki-laki), yang menandakan bahwa mereka tidak suci. Kadang menggunakan pakaian modern seperti kaos oblong dan celana jeans. (BL)
  • Kelompok masyarakat panamping (Baduy Luar), tinggal di berbagai kampung yang tersebar mengelilingi (di luar) wilayah Baduy Dalam, seperti Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, dan lain sebagainya. (BL)

· Kepercayaan masyarakat Kanekes yang disebut sebagai Sunda Wiwitan berakar pada pemujaan kepada arwah nenek moyang (animisme) yang pada perkembangan selanjutnya juga dipengaruhi oleh agama Budha, Hindu, dan Islam. Inti kepercayaan tersebut ditunjukkan dengan adanya pikukuh atau ketentuan adat mutlak yang dianut dalam kehidupan sehari-hari orang Kanekes. Isi terpenting dari 'pikukuh' (kepatuhan) Kanekes tersebut adalah konsep "tanpa perubahan apapun", atau perubahan sesedikit mungkin:

· Sebagaimana yang telah terjadi selama ratusan tahun, maka mata pencaharian utama masyarakat Kanekes adalah bertani padi huma. Selain itu mereka juga mendapatkan penghasilan tambahan dari menjual buah-buahan yang mereka dapatkan di hutan seperti durian dan asam keranji, serta madu hutan.

· Masyarakat Kanekes yang sampai sekarang ini ketat mengikuti adat istiadat bukan merupakan masyarakat terasing, terpencil, ataupun masyarakat yang terisolasi dari perkembangan dunia luar. Berdirinya Kesultanan Banten yang secara otomatis memasukkan Kanekes ke dalam wilayah kekuasaannya pun tidak lepas dari kesadaran mereka. Sebagai tanda kepatuhan/pengakuan kepada penguasa, masyarakat Kanekes secara rutin melaksanakan seba ke Kesultanan Banten (Garna, 1993). Sampai sekarang, upacara seba tersebut terus dilangsungkan setahun sekali, berupa menghantar hasil bumi (padi, palawija, buah-buahan) kepada Gubernur Banten (sebelumnya ke Gubernur Jawa Barat), melalui bupati Kabupaten Lebak. Di bidang pertanian, penduduk Baduy Luar berinteraksi erat dengan masyarakat luar, misalnya dalam sewa menyewa tanah, dan tenaga buruh.

Tokoh Utama Masyarakat Baduy

Masyarakat Kanekes mengenal dua sistem pemerintahan, yaitu sistem nasional, yang mengikuti aturan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan sistem adat yang mengikuti adat istiadat yang dipercaya masyarakat. Kedua sistem tersebut digabung atau diakulturasikan sedemikian rupa sehingga tidak terjadi perbenturan. Secara nasional penduduk Kanekes dipimpin oleh kepala desa yang disebut sebagai jaro pamarentah, yang ada di bawah camat, sedangkan secara adat tunduk pada pimpinan adat Kanekes yang tertinggi, yaitu "puun".

Pemimpin adat tertinggi dalam masyarakat Kanekes adalah "puun" yang ada di tiga kampung tangtu. Jabatan tersebut berlangsung turun-temurun, namun tidak otomatis dari bapak ke anak, melainkan dapat juga kerabat lainnya. Jangka waktu jabatan puun tidak ditentukan, hanya berdasarkan pada kemampuan seseorang memegang jabatan tersebut.

Pelaksana sehari-hari pemerintahan adat kapuunan (kepuunan) dilaksanakan oleh jaro, yang dibagi ke dalam empat jabatan, yaitu jaro tangtu, jaro dangka, jaro tanggungan, dan jaro pamarentah. Jaro tangtu bertanggung jawab pada pelaksanaan hukum adat pada warga tangtu dan berbagai macam urusan lainnya. Jaro dangka bertugas menjaga, mengurus, dan memelihara tanah titipan leluhur yang ada di dalam dan di luar Kanekes. Jaro dangka berjumlah 9 orang, yang apabila ditambah dengan 3 orang jaro tangtu disebut sebagai jaro duabelas. Pimpinan dari jaro duabelas ini disebut sebagai jaro tanggungan. Adapun jaro pamarentah secara adat bertugas sebagai penghubung antara masyarakat adat Kanekes dengan pemerintah nasional, yang dalam tugasnya dibantu oleh pangiwa, carik, dan kokolot lembur atau tetua kampung (Makmur, 2001).

Sistem Komunikasi dan hambatannya

Untuk kepentingan hubungan dengan luar, termasuk hubungan dengan urusan pemerintahan formal, maka orang Baduy Luar lah yang ditunjuk untuk dijadikan Kepala desa. Kepala Desa yang disebut Jaro (“Jaro Pamerantah”) ditunjuk dan ditentukan oleh Puun (“Ketua Adat”). Kepala Desa (“Jaro Pamarentah”) bertugas untuk menampung dan menyampaikan segala perintah yang diperintahkan pemerintah sejauh tidak bertentangan dengan adat.

Hubungan diantara sesama masyarakat Baduy itu sendiri berparas pada adat yang diwariskan oleh nenek moyang mereka dan dipatuhi baik oleh masyarakat Baduy Dalam maupun oleh masyarakat Baduy Luar. Didalam Adat istiadat masyarakat Baduy terdapat beberapa pantangan/tabu (“Buyut”) untuk berbuat atau melakukan sesuatu Keseluruhan pantangan/tabu (“buyut”) itu mengatur hubungan-hubungan perilaku orang Baduy baik secara perorangan, hubungan dengan kelompok masyarakatnya maupun dengan lingkungan alamnya yang dianggap sebagai tanah titipan dari nenek moyangnya.

Pusat pemerintahan adat terletak di Baduy Dalam, dengan Puun sebagai pimpinan adatnya. Ada tiga Puun yang memimpin pemerintahan adat di Desa Kanekes atau Masyarakat Baduy. Ketiga Puun ini tinggal di kampung yang berbeda. Puun dibantu oleh Girang Seurat yang membidangi masalah keamanan, dan Jaro Tangtu yang mewakili Puun setiap kampun dan juga berperanan sebagai juru bicara untuk hubungan-hubungan luar.

Masyarakat Baduy dalam berkomunikasi antar mereka menggunakan bahasa sunda. Namun demikian sebagian dari mereka sudah mampu berbahasa Indonesia, terutama ketika berkomunikasi dengan orang luar. Mereka masih konsisten melestarikan seni dan budaya lokal seperti : musik tradisional, upacara adat (seba dan seren taon) dalam siklus kehidupan masih dijalankan, dan dilestarikan secara turun temurun.

Kendati ada banyak hal yang berbeda, kehidupan orang Badui sangat harmonis dan penuh dengan kedamaian. Pola hidup gotong royong yang mereka terapkan membuat mereka hidup rukun. Mereka tampaknya sangat ramah, berbudaya, beradab, bahkan terhadap para wisatawan pun mereka memperlihatkan sikap ramah. Dalam sejarahnya belum ada orang Badui yang saling perang atau melakukan tindakan kriminal. Kenyataannya memang demikian, sesama orang Badui belum pernah terjadi saling membunuh, saling menipu, apalagi dengan orang luar Badui. Kebersamaan mereka sangatlah kuat. Mereka mengadakan upacara adat secara bersamaan, menanam padi dan panen bersamaan, serta banyak kegiatan lain yang memang sudah terjadwal untuk dilaksanakan secara serempak.

Interaksi dengan masyarakat luar

Pada saat ini orang luar yang mengunjungi wilayah Kanekes semakin meningkat sampai dengan ratusan orang per kali kunjungan, namun demikian, wilayah Kanekes tetap terlarang bagi orang asing (non-WNI). Beberapa wartawan asing yang mencoba masuk sampai sekarang selalu ditolak masuk. Relasi sosial mereka masih sangat dipengaruhi oleh tradisi yang bersendi nilai-nilai lama. Kondisi yang sangat berbeda akan kita jumpai dalam masyarakat Sunda yang telah berada di Kota Bandung yang sudah banyak menerima terpaan media. Relasi sosial mereka, terutama dengan keluarga dan tetangga, pasti lebih longgar dibandingkan dengan masyarakat Badui. Bisa jadi mereka tidak akan mengenal tetangga yang berada di sebelah rumah. Kondisi ini dapat dengan mudah kita jumpai di berbagai perumahan mewah yang saling teralienasi satu dengan yang lain.

Suku Madura

Suku Madura terkenal karena gaya bicaranya yang blak-blakan serta sifatnya yang keras dan mudah tersinggung, tetapi mereka juga dikenal hemat, disiplin dan rajin bekerja. Untuk naik haji, orang Madura sekalipun miskin pasti menyisihkan sedikit penghasilannya untuk simpanan naik haji. Selain itu orang Madura dikenal mempunyai tradisi Islam yang kuat, sekalipun kadang melakukan ritual Pethik Laut atau Rokat Tasse (sama dengan Larung Sesaji).

Harga diri, juga paling penting dalam kehidupan orang Madura, mereka memiliki sebuah peribahasa "Lebbi Bagus Pote Tollang, atembang Pote Mata". Artinya, lebih baik mati (putih tulang) daripada malu (putih mata).

Upaya orang-orang Madura menghapus stereotipe negatif yang sudah terlanjur melekat di benak banyak orang, seperti berjuang dalam sepi karena rendahnya dukungan masyarakat pendukungnya. Mereka mampu beradaptasi dan memiliki toleransi tinggi terhadap perubahan. Orang-orang Madura dikenal ulet. Riset majalah Tempo pada tahun 1980-an pernah menempatkan suku Madura dalam lima besar suku yang paling sukses di Indonesia.

Orang-orang Madura di tanah rantau adalah saksi hidup dari semangat itu. Mereka berani melakukan pekerjaan apa saja demi hidup. Namun, dibalik kegigihan itu, masyarakat dari pulau garam ini memiliki rasa humor yang khas. Karakter lain yang lekat dalam diri orang-orang Madura adalah perilaku yang selalu apa adanya dalam bertindak. Suara yang tegas dan ucapan yang jujur kiranya merupakan salah satu bentuk keseharian yang bisa kita rasakan jika berkumpul dengan orang Madura.

Sosok yang berpendirian teguh merupakan bentuk lain dari kepribadian umum yang dimiliki suku Madura. Mereka sangat berpegang pada falsafah yang diyakininya. Apa pun mereka lakukan untuk mempertahankan harga diri. Masyarakat Madura sangat taat beragama. Selain ikatan kekerabatan, agama menjadi unsur penting sebagai penanda identitas etnik suku ini. Bagi orang Madura, agama Islam seakan sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari jati dirinya. Akibatnya, jika ada warga Madura yang memeluk agama lain selain Islam, identitas kemaduraannya bisa hilang sama sekali. Lingkungan sosialnya ‘akan menolak’, dan orang yang bersangkutan bisa terasing dari akar Maduranya

Tokoh Utama Suku Madura

Di antara kelompok atau kelas sosial yang sangat berpengaruh dalam masyarakat Madura adalah ulama lokal atau kiai. Untuk sebagian hal ini merupakan konsekuensi dari islamisasi Madura yang relatif “tuntas” tadi. Karena islamisasi berlangsung baik di hampir semua kelompok dan kelas sosial dengan ulama sebagai institusi sentrumnya, maka ulama memiliki posisi sentral dalam struktur sosial masyarakat Madura di hampir semua tingkatannya. Posisi mereka tampak kian kuat dan luas dari waktu ke waktu. Belakangan, konfigurasi politik nasional dan lokal memungkinkan mereka untuk mengintegrasikan diri ke dalam sistem nasional, dimana ulama menduduki posisi tertinggi dalam birokrasi negara tingkat lokal, suatu hal yang sulit terjadi sejak zaman kolonial hingga zaman Orde Baru.

Sistem Komunikasi dan hambatannya

Salah satu modal budaya yang sangat penting adalah pergumulan bahasa Madura di lingkungan pesantren. Sudah tentu kita harus menyadari pula keterbatasan-keterbatasannya, karena pesantren bagaimanapun ”hanya” salah satu lembaga sosial yang mungkin menjadi modal budaya dan sosial bagi bahasa Madura. Tapi tak dapat disangkal bahwa dunia pesantren telah memainkan peran penting bukan saja dalam melestarikan bahasa Madura sebagai bahasa komunikasi sehari-hari, melainkan juga dalam pelembagaan bahasa Madura itu sendiri sebagai bahasa ilmu dan bahasa sastra. Dengan pergumulan bahasa Madura di lingkungan pesantren, bahasa Madura mengalami pengayaan penting terutama dengan masuknya banyak sekali kosakata Arab ke dalam bahasa Madura itu sendiri. Dirumuskan dengan cara lain, di dunia pesantren bahasa Madura jadi terbuka terhadap bahasa asing, terutama terhadap konsep-konsep agama Islam. Lebih dari itu, bahasa Madura di lingkungan pesantren adalah percobaan pemakaian bahasa Madura sebagai bahasa tulis secara berkesinambungan.

Di banyak pesantren di Madura (dan daerah Tapal Kuda), bahasa Madura digunakan sebagai bahasa komunikasi sehari-hari. Apa yang penting di sini adalah kesejajaran antara bahasa Madura yang bertingkat dan struktur sosial di lingkungan internal pesantren yang juga bertingkat. Artinya, struktur sosial pesantren yang bersifat hirarkis sangat sejalan dengan bahasa Madura yang juga hirarkis, dan dengan demikian pesantren merupakan lingkungan sosial yang sendirinya menjadi arena yang efektif bagi sosialisasi dan institusionalisasi bahasa Madura yang bertingkat itu, khususnya di kalangan para santri. Pengalaman pesantren di Madura pada hemat saya menunjukkan: hirarki bahasa Madura bukannya melanggengkan hirarki sosial di lingkungan pesantren, alih-alih hirarki sosial lingkungan pesantren telah memungkinkan hirarki bahasa Madura menemukan lingkungannya untuk melestarikan diri.

Apa boleh buat, kita tidak bisa menampik sifat bertingkat (hirarkis) bahasa Madura ini, sebagaimana juga kita tidak bisa menampik hirarki sosial di lingkungan pesantren (bahkan lingkungan sosial secara umum). Sampai batas tertentu hal ini mungkin menghambat bahasa Madura untuk berkembang terutama di hadapan tantangan modernitas yang menjunjung tinggi egaliterianisme dan kepraktisan. Dengan sifat bertingkatnya, bahasa Madura jadi tidak sejalan dengan semangat egaliterianisme dan relatif tidak praktis (mudah) digunakan. Sekali kita berbicara dalam bahasa Madura, dengan sendirinya kita memposisikan kita sendiri dan orang lain dalam hirarki sosial tertentu, sehingga dengan sendirinya bahasa Madura menjadi praktik relasi kuasa yang amat langsung. Bahasa Madura dengan demikian mengandung implikasi psikologi sosial yang kadangkala —bahkan seringkali— tidak nyaman.

Sampai taraf yang sangat terbatas sesungguhnya terjadi negosiasi antara budaya hirarkis dan budaya egaliter dalam masyarakat Madura, termasuk dalam bahasa Madura. Setidaknya di Porè, Cangkrèng, dan Tongghal, tiga desa di kampung saya di Sumenep, semangat egaliter dijunjung tinggi. Mereka berbicara dalam bahasa Madura enjak-iyah untuk anggota komunitas mereka, tanpa peduli dengan usia dan status sosial mereka karena mereka menganggap komunikasi enjak-iyah antara anggota komunitas (orèng diyah, orèng dinnak) sebagai tanda keintiman dan keakraban (nganggep). Berbicara ènggi-enten apalagi èiki-bunten antarmereka adalah sesuatu yang asing dan mengasingkan. Hanya kepada orang luar komunitas, mereka berbicara dalam bahasa Madura halus. (Enggkok tak abasa’a ka been, Nom. Moh abasa katon tak nganggep, ’Saya tidak akan berbahasa Madura halus denganmu, Paman. Sebab berbahasa Madura halus terasa tidak akrab’). Tetapi, seiring dengan banyaknya anak-anak tiga desa ini belajar di pesantren, pengaruh bahasa Madura hirarkis di sana lambat-laun mulai diterima. Pada titik ini, negosiasi antara bahasa egaliter dan bahasa hirarkis menghasilkan diterimanya bahasa Madura yang bersifat hirarkis secara sukarela.

Maka marilah kita terima sifat bertingkat bahasa Madura itu sebagai kekayaan bahasa Madura, sebagaimana juga bahasa etnis lain seperti Jawa dan Sunda. Apa yang penting di sini adalah bahwa pengalaman pesantren dengan bahasa Madura menunjukkan adanya kultur hirarki yang kadangkala memang amat kaku, tetapi pada saat yang sama justru memungkinkan batas-batas tertentu kekakuan hirarki itu diterobos. Jika hirarki sosial bersifat tertutup, hirarki bahasa tetap terbuka. Para santri (yunior) tidak akan bisa menyentuh lingkaran elite pesantren secara sosial, namun mereka bisa menyentuh lingkaran elit pesantren itu dalam dan lewat bahasa. Para santri (yunior) dan elite pesantren adalah dua wilayah yang terpisah, namun keduanya dipersatukan oleh bahasa. Dengan demikian, meskipun bersifat hirarkis, bahasa Madura justru bisa menjembatani hirarki sosial di lingkungan pesantren.

Hal serupa berlaku juga di lingkungan sosial yang lebih luas. Masyarakat dan elit sosial (birokrasi negara) adalah dua wilayah yang dengan relatif tegas terpisah secara sosial dalam struktur hirarkis yang ketat dan kaku. Rakyat tidak selalu mudah bertemu dengan bupati, gubernur, apalagi presiden, karena hirarki birokrasi yang ketat dan kaku itu. Tetapi adalah bahasa yang memungkinkan pertemuan antara dua lapisan sosial tersebut, betapapun bahasa itu sendiri bersifat hirarkis, yaitu bahasa yang termaterialisasi lewat berbagai media. Dalam arti itu, maka hirarki bahasa bukan saja berfungsi menjembatani hirarki sosial, melainkan juga menyelesaikan atau mengatasi kebuntuan hirarki sosial itu sendiri.

Dengan demikian, hirarki bahasa Madura di satu sisi memang membatasi atau bahkan menghambat kemajuan bahasa Madura sendiri karena tidak sejalan dengan desakan modernitas yang menjunjung egaliterianisme dan kepraktisan. Namun di sisi lain hirarki bahasa Madura telah memungkinkan, bahkan mendorong, agar bahasa Madura memainkan fungsi sosial justru di saat struktur sosial menghadapi jalan buntu. Dalam konteks itulah maka hirarki bahasa yang semula menjadi hambatan telah mentransformasi diri menjadi kekuatan. Sampai di sini kiranya cukup jelas bahwa di lingkungan pesantren bahasa Madura bukan saja menjadi alat komunikasi sehari-hari, melainkan juga memainkan fungsi sosial, yaitu menjembatani atau bahkan mengatasi kekakuan dan kebuntuan hubungan-hubungan sosial di lingkungan pesantren itu sendiri.

Di pesantren, bahasa Madura tidak hanya diajarkan dan digunakan sebagai alat komunikasi sehari-hari. Lebih dari itu, bahasa Madura digunakan sebagai bahasa ilmu secara relatif permanen. Paling tidak sampai tingkat tertentu, pelajaran akhlak, fiqih, akidah, tasawuf, dan lain-lain di pesantren disampaikan dalam bahasa Madura. Arti penting bahasa Madura yang digunakan sebagai bahasa ilmu ini adalah menaikkan fungsi bahasa Madura ke tingkat abstraksi dan konsep-konsep dengan kadar kerumitan dan pengayaan kosakata melebihi bahasa sebagai alat komunikasi sehari-hari. Dengan demikian, di pesantren bahasa Madura tidak hanya memainkan fungsi sosial, melainkan juga memainkan fungsi intelektual. Sudah pasti khazanah intelektual akan memperkaya kehidupan sosial suatu masyarakat. Karenanya, ketika bahasa Madura digunakan sebagai bahasa ilmu, maka ia pasti memperkaya bahasa Madura itu sendiri sekaligus membuka jalan bagi pengembangannya untuk benar-benar menjadi alat artikulasi ilmu secara modern.

Di samping itu, di pesantren bahasa Madura juga digunakan sebagai bahasa sastra. Kalau bahasa ilmu menggunakan banyak abstraksi, konsep, dan teori, bahasa sastra menggunakan banyak metafor, alusi, imajinasi, asosiasi, dan sejenisnya. Hanya saja, karena tujuan pesantren dengan semua aktivitasnya adalah pendidikan dan agama, maka metafor dan sejenisnya cenderung dieksploitasi untuk kepentingan didaktis dan moral agama. KH Musyfiq dari Karai, Sumenep, misalnya yang secara rutin mengisi pengajian melalui radio pemancar terbatasnya, kerap memulai pengajiannya dengan membacakan syair-syair keagamaan karangannya sendiri. Di pesantren, pelajaran akidah, fiqih, dan akhlak seringkali diajarkan lewat syiir yang dinyanyikan bersama.

Dengan menjadikan bahasa Madura sebagai alat komunikasi sehari-hari, bahasa ilmu, dan bahasa sastra, maka pesantren telah memanfaatkan bahasa Madura dalam batas maksimal yang mungkin dilakukannya.

Lebih dari itu, sejumlah kitab yang diajarkan di pesantren —seperti Safinatun Najâ, Sullamuttawfîq, dan Bidâyatul Hidâyah, untuk menyebut sebagian— diterjemahkan ke bahasa Madura, dicetak dan diedarkan secara relatif luas. Apa artinya ini? Ini berarti bahasa Madura yang berkembang di pesantren didukung oleh kapitalisme-cetak (print-capitalism), satu kekuatan budaya modern yang dalam pengalaman kebudayaan di banyak tempat —di Eropa sejak abad ke-16 dan di Indonesia sejak awal abad ke-20— mempercepat proses modernisasi bahasa dan akhirnya masyarakat pemakai bahasa itu sendiri. Bahasa Indonesia berkembang menjadi bahasa modern jelas didukung oleh kapitalisme-cetak ini, terutama sejumlah penerbit swasta bacaan berbahasa Melayu dan kemudian penerbit Balai Pustaka. Jadi, pesantren sesungguhnya memiliki kekuatan atau prasyarat budaya untuk memodernisasi bahasa Madura untuk berkembang menjadi alat artikulasi modern.

Perpaduan antara mesin cetak dan kapital(isme) —yang memproduksi dan memasarkan bahasa dalam suatu cetakan— memungkinkan suatu bahasa terakselerasi sedemikian rupa dan menjangkau masyarakat dengan relatif luas, dengan pembayangan tentang suatu komunitas pengguna bahasa itu sendiri. Cetakan membangkitkan imajinasi tentang sejumlah pembaca di tempat-tempat lain yang relatif jauh, yang secara bersama-sama disatukan dan dipertemukan oleh bahasa dalam cetakan itu sendiri. Ketika para santri belajar kitab cetakan berbahasa (terjemahan) Madura, diam-diam mereka membayangkan santri-santri lain belajar kitab yang sama di tempat-tempat yang tak mereka kenal, dengan bahasa yang sama yakni bahasa Madura. Dengan cara itu, bahasa Madura terakselerasi, tersosialisasi, dan terinstitusionalisasi dalam jangkauan sosial yang tak terbayangkan sebelumnya.

Thursday, October 8, 2009


Judul Buku : KPK Pemburu Koruptor : Kiprah Komisi Pemberantas Korupsi

Dalam Memberangus Korupsi

Penulis : Deni Setyawati

Penerbit : Pustaka Timur

Tebal buku : 138 halaman


BAB I

PENYAKIT ITU BERNAMA KORUPSI

Korupsi telah membudaya di Indonesia, oleh karena itu sampai sekarang bangsa Indonesia belum mampu mengadakan perubahan yang berarti dalam menangani korupsi ini.

Bukan hanya menjadi tugas pemerintah saja, tetapi juga menjadi tanggung jawab masyarakat secara umum. Karena jelas tidak berarti sama sekali jika terdapat kerja sama yang baik dari semua elemen masyarakat untuk memberantas korupsi.

Di Indonesia, rupanya korupsi sudah ada sejak dulu, bahkan jauh sebelum merdeka. Pada masa kemerdekaan, praktik korupsi pun tidak bias dielakkan.

Apapun bentuknya, korupsi memberikan dampak yang mendalam bagi bangsa ini. Para koruptor dengan entengnya menguras kekayaan Negara demi memuaskan keinginannya. Dan rakyat lah yang menjadi korbannya. Penyakit korupsi ini sangat berpengaruh bagi keberlangsungan bangsa.

Korupsi dapat disamakan dengan sebuah penyakit, yang menimpa pada seorang anak manusia. Hanya saja, penyakit ini menimpa sebagian besar elite negri ini.

Mochtar Lubis, dikutip dari tulisan Sory Ersa Siregar-STP “Budaya Maju”, dalam harian Berita Buana. 20 November 1984, membedakan tiga jenis korupsi, yakni :

  1. Penyuapan
  2. Pemerasan
  3. Pencurian

Syeed Hussein Alatas dalam bukunya Sosiologi Korupsi mengungkapkan bahwa dalam melakukan pencegahan terhadap aksi korupsi hendaknya diupayakan untuk terciptanya pemerintahan yang bersih, tulus, jujur.

Walau banyak kekurangan disana-sini, aksi pemberantasan korupsi harus bias dijadikan pemanasan atau warming up menuju medan perang melawan korupsi di tahun mendatang.

Caranya antara lain dengan menentukan skala prioritas dalam pemberantasan korupsi dan bersikan tidak diskriminatif atau tebang pilih. Pemerintah juga harus lebih jeli dalam melihat persoalan-persoalan yang kiranya perlu mendapat perhatian intensif.

Jika cara penanggulangan korupsi masih sama seperti tahun-tahun sebelumnya maka akan bias dipastikan bahwa praktik korupsi akan tetap berlangsung terus. Hal ini jelas akan berimbas pada penanganan korupsi pada tahun-tahun berikutnya.

BAB II

KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI SEBUAH SOLUSI

Korupsi telah masuk kesemua bidang, baik ekonomi, politik, maupun social-budaya. Dan hamper semua koruptor adalah pejabat-pejabat hebat yang semestinya menjadi panutan bagi rakyatnya.

A. Awal Lahirnya KPK

Pada tanggal 29 Desember 2003 lahirnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

KPK merupakan sebuah komisi yang dibentuk berdasarkan kepada Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Korupsi dengan tujuan untuk mengatasi, menanggulangi dan memberantas korupsi.

Pada masa Orde Lama, juga pernah dibuat sebuah badan yang khusus menangani masalah korupsi yaitu Panitia Retooling Aparatur Negara atau Paran. Namun akhirnya Paran bubar. Lalu pada masa Orde Baru dibentuk Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) yang diketuai oleh jaksa agung. Di ere reformasi, usaha pemberantasan korupsi dimulai oleh B.J. Habibie.

B. Tugas dan Peranan KPK

Berdasarkan visi yang dicanangkan, KPK mempunyai harapan dan keinginan yang cukup mulia, yakni ingin mewujudkan Indonesia yang bebas dari korupsi.

Melakukan pemberantasan korupsi secara professional, intensif, dan berkesinambungan untuk mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, sejahtera merupakan PR besar KPK.

Sukses atau tidaknya KPK, tergantung dari kerja keras yang dilaksanakan untuk memaksimalkan apa yang sudah menjadi tugas, wewenang dan tanggung jawab KPK.Tugas, wewenang, dan tanggung jawab itu antara lain :

  1. Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi
  2. Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan TPK.
  3. Melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap TPK.
  4. Melakukan tindakan pencegahan TPK
  5. Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan Negara.

KPK mempunyai tanggung jawab yangh tidak sedikit. Sehingga dalam menjalankan tugasnya, kPK tidak bias berjalan sendiri tanpa instansi yang terkait. Terjalinnya sebuah kerja sama yang baik juga merupakan kunci keberhasilan KPK.

Hal yang tidak kalah penting untuk dilaksanakan KPK adalah membentuk mental antikorupsi kepada masyarakat.

C. Kelembagaan KPK

Salah satu modal utama agar kinerja KPK bias efisien dan efektif adalah melalui pembangunan organisasi yang professional.

Untuk mewujudkan sebuah lembaga yang professional, berbagai upaya telah dilakukan KPK, antara lain: pengembangan manajemen SDM, efisiensi dan efektifitas pengelolaan keuangan, peningkatan dukungan infrastruktur, peralatan dan teknologi, penguatan peraturan pendukung kegiatan dan penyelenggaraan pengawasan internal.

Seiring perkembangan KPK, sarana dan prasarana yang memadai sangat dibutuhkan KPK. Perwujudan menjadi lembaga yang professional dibuktikan pula oleh KPK dengan dukungan teknologi informasi. Ditambah lagi eksistensi dan gerak KPK telah diperkuat pula aspek yuridis.

D. Strategi Pemberantasan Korupsi

KPK memakai 2 cara, yaitu menindak (represif) dan mencegah (preventif)

  1. KPK dalam menindak (represif)

Tugas menindak yang dilakukan oleh KPK bukan berarti memberikan keleluasaan kepada KPK untuk menangkapi setiap orang atau pejabat begitu saja, melainkan harus tetap berpegang pada peraturan perundangan-undangan yang ada. Karenanya setiap kegiatan yang dilakukan KPK harus bias dipertanggugjawabkan..

Tugas menindak yang dilaksanakan KPK ini meliputi:

a. Kegiatan koordinasi dan Supervisi

b. Penanganan kasus atau perkara

c. Pengambilalihan kasus

KPK dalam Mencegah (preventif)

Langkah preventif antara lain: pendaftaran dan pemeriksaan LHKPN, gratifikasi dan pelayanan masyarakat, penelitian dan pengembangan, monitor dan pengembangan jaringan kerjasama.

Dengan langkah-langkah tersebut diharapkan KPK diharapkan dapat lebih mengoptimalkan tugas dan peranannya sebagai satu-satunya lembaga yang dipercayai menangani korupsi.

Tugas menindak maupun mencegah, keduanya saling bertautan, tidak bias dipisahkan dan harus dijalankan secara seimbang.

Kasus korupsi yang berhasil ditangani KPK ditandai dengan terpenjaranya para koruptor harus dibarengi dengan upaya pencegahan berupa pemahaman jiwa anti korupsi dalam masyarakat. Pada prinsipnya pembentukan mental yang baik, jujur dan bijaksana menjadi bagian yang sangat penting. Karena inti dari semua penyakit korupsi ini sebenarnya adalah buruknya mental para pejabat kita.

;;